Selasa, 08 Desember 2015

MADRASAH BERMUTU



IMAM AL-GHAZALI
Imam al-Ghazali merupakan tokoh Islam yang sangat luar biasa keilmuannya dan pemikirannya masih sangat relapan hingga kini terutama dalam hal metode  mendidik anak
Salah satu metode yang dikembangkan oleh al-Ghazali adalah metode amaliyah  atau disebut juga metode praktis  artinya anak harus di didik pada kondisi yang mudah dimengerti oleh anak tersebut dengan didukung oleh  lingkungan yang sehat  dan baik dalam hal pergaulan,  termasuk juga makanan sehingga dapat menjaga anak dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak baik.
Dalam hal mendidik anak al-Ghazali juga menekankan  tentang pentingnya pakaian yang baik  yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan tempat      al-Ghazali
juga menganjurkan anak untuk bergerak atau berolahraga  bersikap tawadhu, mencegah bersumpah walaupun sumpah itu benar  dan mendorong anak untuk berprilaku baik disetiap keadaan dengan melarang  meludah dan menguap apalagi di dalam sebuah pertemuan.
Al-Ghazali juga menekankan pentingnya mendidiik anak di waktu kecil karena hati anak bagaikan permata  yang sangat berharga, hatinya bersih dan jernih  kosong dari segala kekurangan  dan mudah menerima segala sesuatu yang diberikan kepadanya  mungkin ini ada kaitannya dengan teori modern yang dikemukakan bahwa setiap anak memiliki kecerdasan-kecerdasan (Gartner) anak memiliki kecerdasan yang beragam yang siap untuk  dikembangkan.

Al-Ghazali juga mengingatkan kepada setiap orang untuk sibuk dalam  menuntut ilmu  serta memperbanyak teman yang baik, dalam hal ini  al-Ghazali menekankan akan pentingnya  mengamalkan ilmu  yang di imbangi dengan akhlak-akhlak yang mulia  bagi al-Ghazali pendidik adalah orang memindahkan ilmu pengetahuan dalam hati dan jiwa  dan orang yang seperti ini akan mendapatkan derajat yang tinggi setelah nabi.



PENDIDIKAN ISLAM DALAM BINGKAI NUSANTARA
Disampaikan oleh : EDY
Pada kuliah umum di STIT SIFA Bogor tanggal 26 September 2015

A.      Pendahuluan
Akhir-akhir ini banyak perdebatan muncul tentang “islam nusantara” yang jadi tema besar Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, pada 1 – 5 Agustus yang lalu. Sebagian pakar setuju dengan konsep tersebut, namun tidak sedikit yang meragukan dengan gagasan tersebut karena dianggap bagian dari rangkaian proses sekularisasi, liberisasi pemikiran Islam yang telah digelorakan sejak tahun 80-an oleh Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid.

Sebagian lagi menilai bahwa gagasan Islam Nusantara juga berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim, sehingga akan muncul istilah Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Australia, dan sebagainya. Gagasan Islam nusantara disinyalir akan memicu sikap saling menonjolkan kedaerahannya didalam eksistensinya ber-Islam. Seperti cara membaca Qur’an
dengan langgam Jawa yang akan memunculkan berbagai egoisme Islam yang bersifat kedaerahan seperti gaya baca Sunda, Batak, Makassar, Aceh, Palembang.
Bagi pengusung ide “islam nusantara”, – sebagaimana dikatakan oleh Moqsith Ghazali- Ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan sebuah upaya sinkretisme yang memadukan Islam dengan “agama Jawa”, melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu kita walisongo. Islam nusantara tidak anti arab, karena bagaimanapun juga dasar-dasar islam dan semua referensi pokok dalam ber-islam berbahasa Arab.
Terlepas dar
i pro dan kontra yang berkaitan dengan “tema” Islam nusantara,  Bagaimanakah posisi pendidikan Islam dalam bingkai nusantara ini?

B.Pembahasan
Indonesia adalah bangsa yang  besar  sebelum  nama “Indonesia” ini terbentuk kebesaran Indonesia itu bisa terbentuk karena keragaman budaya yang ada di dalamnya, karena dari segi sejarah ada beberapa peradaban yang yang berbasiskan keagamaan yang menguasai nusantara ini mulai dari masa pra
sejarah, pra colonial dengan berpengaruh besarnya kerajaan hindu budha kutai, tarumanegara, kalingga, sriwijaya, sailendra, medang, kahuripan, sunda, Kediri, dharmasraya, singasari, majapahit, dan malayapura, setelah kerajann hindu budha padam dan meninggalkan peninggalan yang berharaga, k masuklah islam di Indonesia  dan berdiri kerajaan –kerjaan  besar pada masanya seperti kesultanan samudra pasai, ternate, pagaruyung, malaka, indrapura, demak dan Aceh, dan pada tahun 1600-1904 muncul juga kerajaan- kerajaan Kristen di Indonesia yakni kerajaan larantuka  yang berada di pulau Naga  sekarang disebut sebagai pulau plores.[1]
          Berbagai kekuatan dunia pernah menguasai Nusantara dalam perjalanan panjangnya Islamlah  yang  paling memiliki peran dan mampu bertahan sampai saat ini sehingga berkat perjuangan umat Islamlah Indonesia ini terwujud.[2]
Keberadaan madrasah pada saat ini tidak bisa dipisahkan dari keberadaan pesantren dan perkembangannya di tanah air,  keberadaan pesantren sangat strategis sejak awal perkembangan islam di Indonesia, merebut, dan mengisi kemerdekaan bahkan sampai saat ini tidak bisa diabaikan pesantren seolah mengawal keberadaan madrasah.
Berbicara tentang pendidikan Islam tentu tidak dapat dipisahkan dengan madrasah.    Dalam perjalannya Sejak awal diterapkannya sistem madrasah di Indonesia pada sekitar awal abad ke-20, madrasah telah menampilkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang tidak kecil, dalam sejarah pendidikan di Indonesia paling tidak ada beberapa perubahan kurikulum  dalam sistem  pendidikan nasional yakni:  pertama kurikulum 1947 yang disebut dengan rencana pelajaran, kedua, kurikulum 1952  yang disebut dengan rencana pelajaran terurai 1952, ketiga kurikulum 1964 yang disebut dengan rencana pendidikan 1964 yang menekankan kepada pancawardana yang meliputi  daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral, keempat  kurikulum 1968 yang diistilahkan dengan pancawardana  menjadi pembinaan jiwa pancasila, kelima, kurikulum 1975 adanya CBSA,  keenam, kurikulum 1984 pemantapan CBSA, Ketujuh,  kurikulum 1994 adanya pembagian waktu dari semester ke caturwulan,  kedelapan, kurikulum 2004 Kurikulum berbasis Kompetensi (KBK) dan Kesembilan kurikulum 2006 kurikulum  tingkat satuan Pendidikan (KTSP). Kesepuluh, kurikulum 2013 walaupun pernah diterapkan disekolah dan dikembalikan kembali ke kurikulum 2006 namun beberapa madrasah tetap menjalankan kurikulum 2013 tersebut.
Pada masa Orde baru di bawah pimpinan Soeharto yang telah berkuasa hamper tiga puluh dua tahun pada awal kepemimpinan terlihat kontraproduktif dengan umat Islam idenya tentang asas tunggal misalnya bertahan cukup lama dan pada gilirannya sangat  memperngaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara umat Islam harus berjuang keras agar diakuinya madrasah sebagai salah satu sistem  pendidikan nasinal. 
Sebelum dikeluarkannya SK tiga menteri  dalam dekade 1970-an  madrasah terus dikembangkan, untuk  memperkuat keberadaannya, namun yang terjadi pada awal tahun 1970an justru pemerintah terkesan mengisolasi madrasah  sehingga tidak menjadi bagian dari sisitem pendidikan nasional sebagaimana Keputusan presiden (kepres) no 34 tanggal 18 April tahun 1972  tentang “Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan”dimana keputusan ini pada intinya mencakup tiga hal: pertama, Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab  atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan, kedua, menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan  dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja dan pegawai negeri. Ketiga, Ketua lembaga administrasi negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.[3]
Selanjutnya kepres nomor 34 Tahun 1972 dipertegas oleh Inpres Nomor 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII tahun 1966 menjelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Persoalan keagamaan diatur dikelola oleh Departeman Agama sedangkan Madrasah dalam TAP MPRS nomor 2 tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom dibawah menteri agama. Dari sini dapat disimpulkan bahwa madrasah tidak saja bersifat keagamaan  dan umum namun juga bersifat kejuruan. Sementara kepres  nomor 34 tahun 1972  dan Inpres No.15 tahun 1974  menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan umum  dan kejuruan sepenuhnya sepenuhnya berada dibawah tanggung jawab mendikbud,  secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada mendikbud. kebijakan   pemerintah ini dinilai tidak menguntungkan umat Islam yang akhirnya menimbulkan  respon yang  cukup keras yang berdatangan dari para ulama dan madrasah swasta.
Ketegangan ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama, sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Dan kecurigaan itu pun diperkuat dengan dikeluarkannya Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 yang isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional.
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Berkaitan dengan Keppres 34/1972 dan Inpres 15/1974, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, Melalui desakan yang terus menerus terutama respon yang ditujukan  oleh Majlis pertimbangan pendidikan dan Pengajaran agama (MP3A) yang menegaskan bahwa madrasah telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam proses pembangunan.
Karena desakan yang kuat kemudian pemerintah secara aktip menyikapi tuntutan umat Islam tersebut  kemudian pemerintah mengadakan sidang kabinet terbatas  pada tanggal 26 November 1974  yang salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri (Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan kementerian dalam negeri  mengenai peningkatan mutu madrasah.[4]
Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
Diantara ketentuan yang dikeluarkan oleh SKB tiga menteri tersebut adalah menegaskan bahwa madrasah adalah  lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran  agama Islam sebagai mata pelajaran dasar  yang diberikan sekurang-kurangnya tiga puluh persen disamping mata pelajaran umum.
Beberapa permasalahan yang muncul setelah diberlakukannya SKB tiga menteri antara lain:
1.     Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upayapendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi.
2.     Tamatan Madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah.
3.     Diakui bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem  pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir).[5]
Sebagai warisan (legacy) Islam yang sangat penting, pendidikan Islam Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dewasa ini pendidikan Islam (al-tarbiyah al-islamiyah) ¬–khususnya dalam kewenangan Kementerian agama-- telah berkembang dalam jenis dan ragam yang dapat dikategori dalam dua kelompok besar. Pertama, pendidikan Islam sebagai lembaga atau program. Dalam praktiknya, pendidikan Islam kategori ini mencakup setidaknya 6 (enam) jenis lembaga/program, yaitu:

1. Pondok Pesantren dan Diniyah (Ula, Wustha, ’Ulya) dan Ma’had ’Aly (Pesantren Luhur) dengan segala variasi dan kualitasnya. Lembaga/program ini telah memperoleh kedudukan yang semakin kokoh melalui UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dan PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
2. Madrasah (MI, MTs, MA) yang disebut sebagai ‘pendidikan umum berciri khas Islam’ yang dalam praktiknya ‘sama tapi tak sebangun’ dengan sekolah;
3. Perguruan tinggi Islam dengan keragamannya seperti Sekolah Tinggi, Institut (negeri dan swasta) dan Universitas (UIN) yang memperoleh kedudukan khusus dalam UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
4. Pendidikan usia dini/TK/RA/BA yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan yayasan dan organisasi Islam;
5. Pelajaran agama Islam (PAI) di Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi sebagai suatu mata pelajaran, mata kuliah, dan/atau sebagai program studi;
6. Pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, forum-forum kajian keislaman, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya yang digalakkan masyarakat, atau pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan non formal dan informal.

Saat ini semenjak diberlakukannya Undang-undang sisdiknas no 20 tahun 2003 secara teori sudah tidak ada lagi perbedaan antara madrasah dan sekolah, namun dualisme pendidikan antara kemenag dan depdiknas menjadi permasalahan yang sampai sekarang tidak dapat terselesaikan hal ini dapat dimaklumi karena sekolah dan madrasah di  Indonesia memiliki latar belakang yang panjang dan dua lisme ini bisa saja disebut menjadi ciri khas dari pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan data statistik madrasah  pada tahun 2007/2008  Pendataan RA/BA/TA dan Madrasah (MI, MTs dan MA) Tahun Pelajaran 2007/2008  encakup 33 propinsi. Jumlah lembaga  yang berhasil didata sebanyak 18.759 RA/BA/TA, 21.188 Madrasah  Ibtidaiyah (MI), 12.883 Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan 5.398 Madrasah Aliyah (MA).  satus lembaga pada Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 92,6% atau 19.621 lembaga berstatus  swasta dan  sebanyak 7,4% atau 1.567 lembaga berstatus Negeri. Madrasah Tsanawiyah Negeri sebanyak 9,8% atau 1.259 lembaga, kemudian Madrasah Tsanawiyah Swasta sebanyak 90,2% atau  1.624 lembaga. Madrasah  Aliyah berstatus Negeri  sebanyak 11,9% atau 644 lembaga, sementara Madrasah Aliyah berstatus swasta sebanyak 88,1% atau 4.754 lembaga. Lihat grafik berikut.      [6]

          Dari data di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagian  madrasah adalah swasta, artinya sebagian besar madrasah dikelola oleh masyarakat dengan berbagai model dan lembaga yang melatarbelakanginya, orang tua yang menyekolahkan anaknya di madrasah swasta berdasarkan data statistic madrasah  berada di bawah Rp 1.000.000 per bulan, Tidak Tetap - 42,18%, < 1.000.000 - 43,75%, 1.000.000 – 2.000.000 - 10,47%, > 2.000.000 - 3,60% [7]  keadaan ini sungguh berbanding terbalik dengan potensi kekayaan alam yang dimiliki negara kita.
          Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam terus berpacu dalam menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang menyesuaikan dengan jamannya dalam bingkai nusantara madrasah hendaknya menjadi penggerak dalam mewacanakan dan melakukan kemajuan-kemajuan dalam bidang kemajemukan dengan menunjukkan islam yang baik dan toleran
 Madrasah dewasa ini dihadapkan pada Tantangan global dan merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar  pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar siap mengahadapi tantangan tersebut salah satu cirinya adalah mampu dan siap hidup dalam lingkungan yang majemuk dan multikultural  yang merupakan akibat dari kemajuan tekhnologi yang tidak bisa dihindari kemajuan tekhnologi membuat dunia semakin kecil sehingga pada saat ini dunia menjadi sebuah kampung yang kecil
Merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak bahwa negara Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain sehingga negara-negara Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar. 13000 pulau dengan 34 provinsi dan 300  etnis  kondisi Indonesia yang seperti ini menegaskan bahwa NKRI adalah negara yang multkultural. Jumlah pulau di Indonesia sampai saat ini sebenarnya belum secara pasti diketahui jumlahnya karena masih memiliki perbedaan pendapat tentangnya,  Lembaga yang pernah menetapkan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia, diantaranya adalah: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1972, mempublikasikan bahwa hanya 6.127 pulau yang telah mempunyai nama. Publikasi ini tanpa menyebutkan jumlah pulau secara keseluruhan; Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta) pada tahun 1987menyatakan, jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 dan dari jumlah itu hanya 5.707 pulau yang telah memiliki nama; Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) pada tahun 1992 menerbitkan “Gezetteer nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia”. Bakorsurtanal mencatat hanya 6.489 pulau yang telah memiliki nama; kemudian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada tahun 2002 berdasarkan citra satelit mengklaim jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306 buah; Kementrian Riset dan Teknologi, pada tahun 2003, berdasarkan citra satelit menyebutkan Indonesia memiliki 18.110 pulau. Ketidaksamaan penetapan jumlah pulau tersebut ditindak lanjuti oleh Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia pada tahun 2004,merilis bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 pulau, dan dari jumlah tersebut dipastikan sebanyak 7.870 pulau sudah memiliki nama, sedangkan sisanya sebanyak 9.634 pulau belum diberi nama.  Kemudian pada bulan Agustus tahun 2009, jumlah pulau yang sudah ditetapkan oleh Depdagri mendapat koreksi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ditegaskan bahwa jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia sebanyak 17.480 buah, dan dari jumlah tersebut baru 4.891 pulau yang telah diberi nama dan telah didaftarkan ke badan dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Ternyata jumlah yang sudah dirilis oleh KKP itupun masih belum valid, dan pada bulan Agustus tahun 2010, Kementrian Kelautan dan Perikanan melakukan revisi tentang jumlah pulau yang dimiliki Indonesia dari 17.480 pulau menjadi 13.000 pulau. Dengan adanya revisi tersebut tentunya semakin membiaskan pendapat publik tentang berapa jumlah pulau yang sebenarnya dimiliki Indonesia ?, mengapa datanya tidak pernah valid dan mengapa datanya selalu berubah-ubah? Kondisi semacam ini seharusnya tidak boleh terjadi pada tingkat Kementerian, karena memberikan informasi yang tidak akurat dan tentunya akan membingungkan masyarakat umum. Dampak yang lebih luas diantaranya akan mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia, karena siswa akan memiliki sikap yang tidak konsisten manakala menyebutkan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia. Polemik tentang perbedaan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia dapat terjadi karena dari beberapa lembaga yang menyatakan pendapat menggunakan acuan dan metode survei yang berbeda pula. Selain hal tersebut ada kemungkinan terjadi duplikasi nama pulau dan atau ada satu pulau dengan dua nama yang berbeda pula terlepas dari itu semua yang jelas Indonesia adalah Negara kepulauan dan itu sudah menjadi kesepakatan.[8]
Indonesia yang multikultural bagi madrasah hendaklah disikapi secara wajar dan pentingnya bagi madrasah menumbuhkan pendidikan Islam yang multicultural, Pentingnya pendidikan multikultural  bagi madrasah dapat dilihat dari pertama, adanya keanekaragaman suku bangsa yang ada di Indonesia, kedua falsafah pancasila dan pembukaan UUD 1945 yang mencerminkan adanya perbedaan budaya yang harus dihargai untuk keutuhan bangsa dan negara Indonesia, ketiaga  UU RI No 20/2003 tentang pendidikan nasional yang menghargai perbedaan dan keragaman peserta didik.[9]
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin  memberikan pemahaman yang utuh berkaitan dengan pendidikan keragaman dalam pendidikan multikultural Perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar kehidupan manusia telah tertulis dalam al-Qur’anul Karim sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Q.S al-hujurat/49:13
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Kurangnya pemahaman dan penerapan secara praktis firman Allah SWT. dalam QS. al-Hujurat /49: 13 tersebut menyebabkan orang Islam terjebak dalam hal-hal yang merugikan. Hal tersebut menjadi penyebab terjadinya konflik yang tidak berkesudahan, Maka konsep pendidikan multikultural bagi madrasah perlu secara terus-menerus untuk disampaikan kepada masyarakat melalui berbagai forum atau media. Hal tersebut bertujuan agar tumbuh dalam diri setiap orang kesadaran hidup dalam sebuah bangsa yang mempunyai keragaman budaya yang pada akhirnya bisa saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan inilah salah satu yang harus dibangun oleh Pendidikan Islam dalam bingkai Nusantara.



[1]  Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia , Jogjakarta: Diva Press,20`14,  h. 207
[2] Sebelumnya kata Indonesia belum dikenal penjajah mengenalnya  denga nama Nederlandsch_ Indie, pemerintah jepang menggunakan Istilah To-Indo (hindia Timur) Nama Indonesia baru- benar-benar digunakan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 yang bernama  Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) orang Indonesia yang tercatat pertamakali menggunakan kata Indonesia adalah  Suwardi Suryaningrat (Kihajar Dewantara) tahun 1913 karena ia mendirikan sebuah biro press  denagn nama indonesische persbureau, Adi Sudirman, Ibid, 12-13
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pemdidikan Islam,….. ibid 362
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pemdidikan Islam… ibid 363

[5]  Muhammad Isnaini,  Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang) Madrasah Sebagai The Centre Of Excellence. Makalah yang tidak diterbitkan, tt.
[6] Deskriptif Statistik RA/BA/TA dan Madrasah tahun 2008
[7] Departemen Agama R.I:  Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Ringkasan Statistik Pendidikan Islam 2006-2007

[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia ...lebih lanjut dijelaskan.  Berbagai Lembaga pernah mempublikasikan tentang jumlah pulau yang dimiliki Indonesia, tetapi sampai dengan saat ini belum ada pernyataan resmi sebagai dokumen negara dan diakui secara internasional tentang penetapan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia. (Lih..sekertariat jendral ketahanan nasional. http://www.dkn.go.id/site/index.php/ruang-opini/126-jumlah-pulau-di-indonesia. di lihat tanggal 22 Februari 2015 jam 10:36)
[9] Depag RI (Tiem),Panduan Model Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikulutral Sekolah Dasar, Direktorat pendidikan Islam pada Sekolah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian agama RI,  2010, h.17. lebih lanjut dalam  penyusunan kurikulum tinghkat satuan pendidikan ada prinsip yang harus dipenuhi diantaranya Beragam dan terpadu  Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.





KONSEP MADRASAH BERMUTU
A.    Pendahuluan
Madrasah merupakan lembaga/organisasi yang kompleks dan unik. Kompleks, karena dalam operasionalnya madrasah dibangun oleh berbagai unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan saling menentukan. Unik, karena madrasah merupakan organisasi yang khas, menyelenggarakan proses perubahan perilaku dan proses pembudayaan manusia, yang tidak dimiliki oleh lembaga manapun.
Madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan islam memiliki kontribusi yang besar terhadap kemajuan dan kebudayaan bangsa peranannya tidak bisa diabaikan begitu saja sudah banyak tokoh dan pemimpin yang lahir dari madrasah karenanya keberadaan madrasah harus terus ditumbuhkembangkan karena Undang-undan
g system pendidikan nasional di Indonesia tidak lagi membedakan antara madrasah dan sekolah, antara madrasah dan sekolah sudah berada sejajar
Sebagian besar madrasah adalah swasta dan sebagian besar berada pada masyarakat yang memiliki ekonomi yang kurang baik  hal ini harus disikapi secara bijak yang artinya proses perubahan dan pembangunan ekonomi masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kontribusi terhadap pemberdayaan madrasah. Madrasah harus diatur sedemikian rupa  dengan tujuan agar tercipta sebuah madrasah yang unggul walaupun untuk melangkah kepada madarasah yang bermutu perlu tahapan dan proses yang tidak mudah namun keinginan untuk mewujudkan madrasah yang bermutu patut untuk dihargai.

A. Madrasah yang Efekti
Hakekat pendidikan pada dasarnya adalah untuk menjawab hakekat manusia dalam pendangan Islam hakekat manusia diciptakan adalah untuk beribadah dan menjadi khalifah yang bertanggung jawab dimuka bumi ini. Pendidikan di madarasah pada dasarnya di tujukan pula untuk terwujudnya  hamba Allah yang memiliki keimanan dan ketaqwaan  atau ketundukan kepada Sang Pencipta hal ini perlu dilakukan melalui madrasah yang bermutu .
Madrasah yang bermutu  adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang mempunyai kurikulum, strategi, belajar mengajar yang bermutu  dan ada interaksi dengan pihak yang berkepentingan (siswa, guru, orang tua, lingkungan dan pejabat yang terkait) dengan tujuan  menghasilkan keluaran yang dapat diandalkan.[1] Oleh karena itu, madrasah dapat dikatakan bermutu  jika lembaga pendidikan agama Islam tersebut mempunyai tujuan, misi dan sasaran, mulai dari rekrutmen (input) baik guru, tenaga pendidik maupun siswa,  memperhatikan dan melakukan perbaikan nyata pada kegiatan belajar dan mengajar yang berorientasi pada perbaikan yang berkelanjutan dengan memperhatika kondisi dan keadaan (procesing) serta melakukan tindak lanjut pada keluaran dengan tujuan mendapatkan lulusan yang bermutu dikemudian hari secara berkelanjutan.
            Untuk mencapai madrasah yang bermutu banyak hal yang harus dirombak dan dilakukan diantaranya adalah
1.      sosialisasi dan pengenalan terhadap masyarakat  melalui perebutan diruang publik (media)  bahwa madrasah merupakan institusi yang sejajar dengan sekolah sebagaimana yang telah diamanahkan oleh UU sisdiknas No 20 tahun 2003 biasanya penyebutan sekolah ditambahkan dengan madrasah (sekolah/madrasah)
2.       Sebagian besar madrasah adalah milik swasta atau masyarakat dan berada pada lapisan masyarakat yang memiliki tingkat perekonomian yang belum mapan, -walaupun banyak madrasah yang sudah berkualitas dan biasanya berada di wilayah perkotaan- perbaikan madrasah diupayakan juga menyentuh pengguna dari proses perbaikan tersebut yakni masyarakat.
3.      Perbaikan yang berkelanjutan di madrasah seharusnya tidak hanya menyentuk kepala madrasah atau guru maupun staf, tetapi sudah mulai dipikirkan untuk melakukan kebijakan melalui pendidikan pada level pemangku kepentingan pada madrasah yakni yayasan. Karena yayasan memiliki kepentingan yang beragam namaun perbaikan dan pelayanan harus dilakukan secara berkelanjutan.
4.      Pendidikan keagamaan (keislaman) yang dilakukan di madrasah sudah saatnya  diperbaiki dengan metode yang terbaik jangan hanya berada pada pemahaman verbal tetapi sudah saatnya diaplikasikan  baik oleh pendidik, tenaga pendidik maupun orang tua siswa
5.      Madrasah diharuskan untuk memiliki visi yang menjadi aksi, artinya bukan hannya berada pada ucapan saja tetapi dirumuskan, dipahmi, diamalkan secara aplikatif dalam kehidupan nyata oleh warga madrasah.
6.      Madrasah memeiliki potensi sebagai institusi yang mampu menyegarkan kembali ajaran-ajaran akhlak untuk mencapai kesadaran pribadi sebagai seorang muslim yang bertanggung jawab terhadap diri masyarakat dan umat dibandingkan dengan sekkolah madarasah lebih memiliki peluang dalam hal ini.[2]

B. Konsep Pengelolaan Madrasah yang Bermutu
1. Manajemen Berbasis Sekolah
Madrasah sendiri kemunculannya merupakan pembaharuan sistem pendidikan Islam di Indonesia yang telah ada. Secara umum, madrasah sendiri didirikan oleh proses swadaya masyarakat muslim (swasta). Madrasah mempunyai landasan hukum yang jelas dalam pendidikan nasional. Mensejajarkan posisi madrasah dengan sekolah umum lainnya (SD, SMP dan SMA).
Isu mengenai Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) sebenarnya merupakan tema sentral dalam reformasi pendidikan di berbagai negara. Manajemen Berbasis Sekolah diartikan sebagai pengalihan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pengelolaan dari birokrasi sentral kepada pengelola terdepan pendidikan, yaitu sekolah dan komunitasnya.[3]
Konsep dasar Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) mengembalikan pengelolaan sekolah kepada pemiliknya dan komponen yang terkait di dalamnya, proses desentralisasi ini dipandang memiliki keefektifan  yang tinggi dan terdapat tujuan nyata yang ingin dicapai dalam pembaharuan ini. Dengan diterapkannya konsep MBM diharapkan  madrasah lebih mampu meningkatkan keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi.[4]
            Peningkatan efisiensi diperoleh antara lain melalui keleluasaan pemanfaatan sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi, sementara peningkatan mutu dapat diperoleh dengan :
a. Melalui orang tua
b. Fleksibilitas pengelolaan madrasah dan kelas
c. Peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah.
Menumbuhkan nilai mutu pada manajemen madrasah merupakan kunci sentral bagi keberlangsungan madrasa karena ada keterkaitan antara madrasah dengan dunia nyata yang dihadapi oleh warga madrasah, Dengan begitu madrasah mampu bersaing di pasaran global, mampu menjanjikan dan menumbuhkan pandangan positif dalam masyarakat.

2. Kerangka Membangun Madrasah yang Bermutu
Kerangka untuk membangun madrasah terdiri dari enam komponen, yaitu :[5]
a. Pengertian umum dan dasar konsepsi yang sama
Sudah semestinya diberlakukan dalam setiap organisasi adanya kesamaan pandangan filosofis yang menuntun perjalanannya. Begitu halnya dengan madrasah. Madrasah yang bermutu harus didukung dengan adanya konsep filosofis yang dialektis, diketahui dengan baik dan bersifat humanis, ideologis, nilai-nilai (Islam, social, dan toleransi) dan misi (akademis dan keluhuran moral).


b. Kurikulum yang bagus dan pengelolaan atas dasar aspirasi masyarakat
Di sini jelas, bahwa madrasah yang baik haruslah mempunyai tujuan dan sasaran yang jelas dalam pendidikannya. Kejelasan ini dicerminkan dalam kurikulum yang digunakan, serta tidak seharusnya mengesampingkan aspirasi masyarakat.
c. Buku akademis dan keluaran moral
Madrasah yang bermutu  menetapkan buku yang tinggi untuk akademis, demikian juga akhlak  Islam, mengajarkan kurikulum pendidikan agama Islam dan berdampingan dengan kurikulum nasional, mampu menunjukkan nilai-nilai  keislamannya dan nasionalisme dalam ritual dan kegiatan luar.
d. Fasilitas belajar yang cukup
Hal ini kaitannya dengan eksplorasi kemampuan siswa dengan optimal. Sehingga peserta didik mampu mengaplikasikan secara riil berbagai konsep yang dirasa masih abstrak. Dengan begitu konstruksi pengetahuan peserta didik akan lebih menuai hasil.
e. Manifestasi perilaku (atas dasar kesepakatan)
Maksudnya, terdapat perilaku khusus yang diciptakan dan disepakati bersama, baik berupa peraturan-peraturan dan sangsi, apresiasi, dan sebagainya yang diwujudkan dalam lingkungan budaya sekolah
f. Keluaran yang diharapkan
Tujuan akhir pengelolaan madrasah adalah mampu menghasilakn keluaran (output) yang kompetensinya tidak diragukan lagi. Tujuan ini tidaklah mungkin diperoleh dengan tanpa memperhatikan berbagai aspek fundamental. Keluaran yang baik, tergantung bagaimana madrasah berusaha, sekeras apakah itu dan seserius apakah madrasah memandang dan mengupayakannya.

3. Prinsip Umum Membangun Madrasah
Madrasah merupakan lembaga pendidikan sekaligus juga perjuangan bagi umat Islam keberadaan madrash memiliki peran strategis dalam membangun kecerdasan dan perjungan umat dan bangsa ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan dalam membangun sebuah madrasah :
a.  Peningkatan pemahaman dan penerimaan filosofis, nilai-nilai dan misi madrasah
Landasan filosofis sudah seharusnya tersusun dan terencana dengan jelas dan memadai, dapat dimengerti dan dipahami secara optimal oleh semua pihak yang berkepentingan.
b. Perhatian para pencapaian sasaran dan tujuan
Madrasah yang bermutu  menentukan prioritas dan membatasi apa yang dapat harus dicapai. Kejelasan dari filosofis pedoman dan misi dan memusatkan pada keikutsertaan dan perhatian dari pihak yang berkepentingan akan menentukan bahwa sekolah harus mempersempit kisaran tujuan yang paling penting untuk dicapai.
c. Kepemimpinan yang bermutu
Kepemimpinan yang bermutu  salah satu cirinya adalah mengambil inisiatif dan tindakan yang tepat untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada. Ada beberapa faktor yang dianjurkan dalam pengelolaan sekolah, antara lain :
1) Kepemimpinan kepala sekolah yang lebih fleksibel
2) Nilai, visi dan misi madrasah harus dikomunikasikan
3) Perhatian pada kelembagaan, visi, misi dan nilai yang diusung
4) Kepala sekolah, staf dan orang tua siswa aktif membangun budaya sekolah yang diinginkan
    berdasarkan visi dan misi.[6]
d. Strategi rencana dan pelaksanaan pembangunan multi dimensi
Hal ini menjadi penting lantaran perkembangan suatu organisasi, tak terkecuali madrasah, tidaklah selalu di atas angin. Tantangan dan kendala tentunya tidaklah bisa diingkari. Dengan demikian, perencanaan yang matang dengan strategi-strategi jitu mungkin akan lebih mengoptimalkan eksistensi suatu madrasah itu sendiri.
e. Pengelolaan sekolah dan partisipasi masyarakat
f. Tanggung jawab dengan jelas dilimpahkan kepada orang yang terlibat atau dipengaruhi oleh kegiatan madrasah
Pembagian job description yang jelas dan tepat sasaran dirasa sebagai langkah awal yang baik dalam manajemen pelaksanaan semua bentuk organisasi. Dengan begitu diharapkan visi, misi dan tujuan dapat tercapai secara optimal.
g. Partisipasi dalam pengambilan keputusan
Dalam madrasah yang mempunyai skala kecil pengambilan keputusan dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan. Sedangkan pada madrasah yang besar, pihak yang berkepentingan memiliki wakilnya (BP3/ komite/majlis sekolah dan yang sejenisnya) partisipasi dalam mengambil keputusan diupayakan dengan sungguh-sungguh dengan melibatkan unsur-unsur yang ada melalui partisipasi yang aktif/
h. Penetapan standar tinggi
i. Siswa belajar aktif dan menyenagkan
j. Lingkungan motivasi belajar mengajar
k. memiliki guru dan kepala sekolah yang bermutu
l. Sistem yang jujur dalam evaluasi dan pertanggungjawaban dan berorientasi pada prose bukan hanya hasil. Madrasah akan lebih berkembang jika mampu melaksanakan pola sistem yang jujur dalam proses evaluasi
m. Optimalisasi sumber daya dan penggunaannya
n. Organisasi fungsional, Madrasah yang bermutu  mempunyai susunan dan hubungan kerja yang lebih tepat sebagai organisasi fungsional dari birokrasi. Di sana dapat hubungan bebas antara guru, kepala madrasah baik vertikal maupun horizontal dan dengan pimpinan masyarakat.

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep madrasah yang bermutu  adalah yang dikelola sesuai dengan kurikulum, strategi, belajar mengajar dan adanya hubungan timbal balik (guru, siswa, orang tua, lingkungan dan pejabat yang terkait), sehingga mampu menyelaraskan tujuan yang tercantum dalam misi dan visi madrasah, serta menghasilkan keluaran yang dapat diandalkan.
Untuk mewujudkan madrash bermutu ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu mengenai kerangka membangun madrasah dan prinsip-prinsip membangun madrasah.



DAFTAR PUSTAKA
Farid Malik, Gulan,  Pedoman Manajemen Madrasah, Yogyakarta: BEP, 2000.
Komaidi, Didik “Manajemen Berbasis Sekolah Era Otonomi Daerah”, dalam Majalah Rindang Nomor 2, tahun XXVI, Juli 2001.
Mas’ud,, Abdurrahman Mas’ud, M.A, (ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 2002.
  Masruroh, Ninik.,Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam ala Azyumardi Azra, Jakarta: Arruzz Media, 2011.
Mulyasa, E Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Nurhatati, dkk., Kepemimpinan Madrasah Mandiri, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2001.
Sagala, Syaiful. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: CV. Alfabeta, 2000.
Syukur,Fatah, Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah, Semarang: al-Qalam Press, 2006.


[1] Fatah Syukur, NC., M.Ag., Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah, Semarang:  al-Qalam Press, 2006, h.. 146.
[2] Ninik Masruroh, M.Pd.I., Umiarso, M.Pd.I, Modernisasi Pendidikan Islam ala Azyumardi Azra, Jakarta: Arruzz Media, 2011, h. 164
[3] Didik Komaidi, “Manajemen Berbasis Sekolah Era Otonomi Daerah”, dalam Majalah Rindang Nomor 2, tahun XXVI, Juli 2001.
[4] Dr. E. Mulyasa, M.Pd., op.cit., h.. 25.
[5] Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, M.A, (ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 2002, h..146-148.

[6] Gulan Farid Malik, Pedoman Manajemen Madrasah, Yogyakarta: BEP, 2000, hlm. 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar