IMAM AL-GHAZALI
Imam
al-Ghazali merupakan tokoh Islam yang sangat luar biasa keilmuannya dan pemikirannya
masih sangat relapan hingga kini terutama dalam hal metode mendidik anak
Salah
satu metode yang dikembangkan oleh al-Ghazali adalah metode amaliyah
atau disebut juga metode praktis
artinya anak harus di didik pada kondisi yang mudah dimengerti oleh anak
tersebut dengan didukung oleh lingkungan
yang sehat dan baik dalam hal pergaulan, termasuk juga makanan sehingga dapat menjaga
anak dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak baik.
Dalam
hal mendidik anak al-Ghazali juga menekankan
tentang pentingnya pakaian yang baik
yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan tempat al-Ghazali
juga menganjurkan anak untuk
bergerak atau berolahraga bersikap tawadhu, mencegah bersumpah walaupun
sumpah itu benar dan mendorong anak
untuk berprilaku baik disetiap keadaan dengan melarang meludah dan menguap apalagi di dalam sebuah
pertemuan.
Al-Ghazali
juga menekankan pentingnya mendidiik anak di waktu kecil karena hati anak
bagaikan permata yang sangat berharga,
hatinya bersih dan jernih kosong dari
segala kekurangan dan mudah menerima
segala sesuatu yang diberikan kepadanya
mungkin ini ada kaitannya dengan teori modern yang dikemukakan bahwa
setiap anak memiliki kecerdasan-kecerdasan (Gartner) anak memiliki kecerdasan
yang beragam yang siap untuk
dikembangkan.
Al-Ghazali
juga mengingatkan kepada setiap orang untuk sibuk dalam menuntut ilmu
serta memperbanyak teman yang baik, dalam hal ini al-Ghazali menekankan akan pentingnya mengamalkan ilmu yang di imbangi dengan akhlak-akhlak yang
mulia bagi al-Ghazali pendidik adalah
orang memindahkan ilmu pengetahuan dalam hati dan jiwa dan orang yang seperti ini akan mendapatkan
derajat yang tinggi setelah nabi.
PENDIDIKAN ISLAM DALAM BINGKAI NUSANTARA
Disampaikan oleh : EDY
Pada kuliah umum di STIT SIFA Bogor tanggal 26
September 2015
A. Pendahuluan
Akhir-akhir ini banyak perdebatan
muncul tentang “islam nusantara” yang jadi tema besar Muktamar ke-33 Nahdlatul
Ulama di Jombang, Jawa Timur, pada 1 – 5 Agustus yang lalu. Sebagian pakar
setuju dengan konsep tersebut, namun tidak sedikit yang meragukan dengan
gagasan tersebut karena dianggap bagian dari rangkaian proses sekularisasi,
liberisasi pemikiran Islam yang telah digelorakan sejak tahun 80-an oleh
Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Sebagian lagi menilai bahwa gagasan Islam Nusantara juga berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim, sehingga akan muncul istilah Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Australia, dan sebagainya. Gagasan Islam nusantara disinyalir akan memicu sikap saling menonjolkan kedaerahannya didalam eksistensinya ber-Islam. Seperti cara membaca Qur’an
dengan langgam Jawa yang akan memunculkan berbagai egoisme Islam yang bersifat kedaerahan seperti gaya baca Sunda, Batak, Makassar, Aceh, Palembang.
Sebagian lagi menilai bahwa gagasan Islam Nusantara juga berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim, sehingga akan muncul istilah Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Australia, dan sebagainya. Gagasan Islam nusantara disinyalir akan memicu sikap saling menonjolkan kedaerahannya didalam eksistensinya ber-Islam. Seperti cara membaca Qur’an
dengan langgam Jawa yang akan memunculkan berbagai egoisme Islam yang bersifat kedaerahan seperti gaya baca Sunda, Batak, Makassar, Aceh, Palembang.
Bagi pengusung ide “islam nusantara”,
– sebagaimana dikatakan oleh Moqsith Ghazali- Ide Islam Nusantara datang bukan
untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan
Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan
sebuah upaya sinkretisme yang memadukan Islam dengan “agama Jawa”, melainkan
kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan oleh
pendahulu kita walisongo. Islam nusantara tidak anti arab, karena bagaimanapun
juga dasar-dasar islam dan semua referensi pokok dalam ber-islam berbahasa
Arab.
Terlepas dar
i pro dan kontra yang berkaitan dengan “tema” Islam nusantara, Bagaimanakah posisi pendidikan Islam dalam bingkai nusantara ini?
i pro dan kontra yang berkaitan dengan “tema” Islam nusantara, Bagaimanakah posisi pendidikan Islam dalam bingkai nusantara ini?
B.Pembahasan
Indonesia adalah bangsa yang
besar sebelum nama “Indonesia” ini terbentuk kebesaran
Indonesia itu bisa terbentuk karena keragaman budaya yang ada di dalamnya,
karena dari segi sejarah ada beberapa peradaban yang yang berbasiskan keagamaan
yang menguasai nusantara ini mulai dari masa pra
sejarah, pra colonial dengan
berpengaruh besarnya kerajaan hindu budha kutai, tarumanegara, kalingga,
sriwijaya, sailendra, medang, kahuripan, sunda, Kediri, dharmasraya, singasari,
majapahit, dan malayapura, setelah kerajann hindu budha padam dan meninggalkan
peninggalan yang berharaga, k masuklah islam di Indonesia dan berdiri kerajaan –kerjaan besar pada masanya seperti kesultanan samudra
pasai, ternate, pagaruyung, malaka, indrapura, demak dan Aceh, dan pada tahun
1600-1904 muncul juga kerajaan- kerajaan Kristen di Indonesia yakni kerajaan
larantuka yang berada di pulau Naga sekarang disebut sebagai pulau plores.[1]
Berbagai
kekuatan dunia pernah menguasai Nusantara dalam perjalanan panjangnya Islamlah yang paling
memiliki peran dan mampu bertahan sampai saat ini sehingga berkat perjuangan
umat Islamlah Indonesia ini terwujud.[2]
Keberadaan madrasah pada saat ini tidak bisa dipisahkan dari
keberadaan pesantren dan perkembangannya di tanah air, keberadaan pesantren sangat strategis sejak
awal perkembangan islam di Indonesia, merebut, dan mengisi kemerdekaan bahkan
sampai saat ini tidak bisa diabaikan pesantren seolah mengawal keberadaan
madrasah.
Berbicara
tentang pendidikan Islam tentu tidak dapat dipisahkan dengan madrasah. Dalam perjalannya Sejak awal diterapkannya
sistem madrasah di Indonesia pada sekitar awal abad ke-20, madrasah telah
menampilkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap
dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang
tidak kecil, dalam sejarah pendidikan di Indonesia paling tidak ada beberapa
perubahan kurikulum dalam sistem pendidikan nasional yakni: pertama kurikulum 1947 yang disebut
dengan rencana pelajaran, kedua, kurikulum 1952 yang disebut dengan rencana pelajaran terurai
1952, ketiga kurikulum 1964 yang disebut dengan rencana pendidikan 1964
yang menekankan kepada pancawardana yang meliputi daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral, keempat kurikulum 1968 yang diistilahkan dengan
pancawardana menjadi pembinaan jiwa
pancasila, kelima, kurikulum 1975 adanya CBSA, keenam, kurikulum 1984 pemantapan
CBSA, Ketujuh, kurikulum 1994
adanya pembagian waktu dari semester ke caturwulan, kedelapan, kurikulum 2004 Kurikulum
berbasis Kompetensi (KBK) dan Kesembilan kurikulum 2006 kurikulum tingkat satuan Pendidikan (KTSP). Kesepuluh,
kurikulum 2013 walaupun pernah diterapkan disekolah dan dikembalikan kembali ke
kurikulum 2006 namun beberapa madrasah tetap menjalankan kurikulum 2013
tersebut.
Pada
masa Orde baru di bawah pimpinan Soeharto yang telah berkuasa hamper tiga puluh
dua tahun pada awal kepemimpinan terlihat kontraproduktif dengan umat Islam
idenya tentang asas tunggal misalnya bertahan cukup lama dan pada gilirannya
sangat memperngaruhi kehidupan berbangsa
dan bernegara umat Islam harus berjuang keras agar diakuinya madrasah sebagai
salah satu sistem pendidikan nasinal.
Sebelum
dikeluarkannya SK tiga menteri dalam
dekade 1970-an madrasah terus
dikembangkan, untuk memperkuat
keberadaannya, namun yang terjadi pada awal tahun 1970an justru pemerintah
terkesan mengisolasi madrasah sehingga
tidak menjadi bagian dari sisitem pendidikan nasional sebagaimana Keputusan
presiden (kepres) no 34 tanggal 18 April tahun 1972 tentang “Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan
dan Latihan”dimana keputusan ini pada intinya mencakup tiga hal: pertama,
Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan, kedua,
menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga
kerja dan pegawai negeri. Ketiga, Ketua lembaga administrasi negara
bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk
pegawai negeri.[3]
Selanjutnya
kepres nomor 34 Tahun 1972 dipertegas oleh Inpres Nomor 15 tahun 1974 yang
mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII tahun 1966 menjelaskan
“agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional.
Persoalan keagamaan diatur dikelola oleh Departeman Agama sedangkan Madrasah
dalam TAP MPRS nomor 2 tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom dibawah
menteri agama. Dari sini dapat disimpulkan bahwa madrasah tidak saja bersifat
keagamaan dan umum namun juga bersifat
kejuruan. Sementara kepres nomor 34
tahun 1972 dan Inpres No.15 tahun
1974 menegaskan bahwa penyelenggaraan
pendidikan umum dan kejuruan sepenuhnya
sepenuhnya berada dibawah tanggung jawab mendikbud, secara implisit ketentuan ini mengharuskan
diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan
kurikulum nasional kepada mendikbud. kebijakan
pemerintah ini dinilai tidak menguntungkan umat Islam yang akhirnya
menimbulkan respon yang cukup keras yang berdatangan dari para ulama
dan madrasah swasta.
Ketegangan
ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama,
sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954, masalah
madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama
sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya
madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam
pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap
madrasah dan pesantren. Dan kecurigaan itu pun diperkuat dengan dikeluarkannya
Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 yang isinya
dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional.
Munculnya
reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Berkaitan dengan
Keppres 34/1972 dan Inpres 15/1974, kemudian pemerintah mengambil kebijakan
yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, Melalui desakan yang terus
menerus terutama respon yang ditujukan
oleh Majlis pertimbangan pendidikan dan Pengajaran agama (MP3A) yang
menegaskan bahwa madrasah telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
proses pembangunan.
Karena
desakan yang kuat kemudian pemerintah secara aktip menyikapi tuntutan umat
Islam tersebut kemudian pemerintah
mengadakan sidang kabinet terbatas pada
tanggal 26 November 1974 yang salah satu
hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri (Kementerian
Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan kementerian dalam negeri mengenai peningkatan mutu madrasah.[4]
Sejalan
dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24
Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri
yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri
(Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
Diantara
ketentuan yang dikeluarkan oleh SKB tiga menteri tersebut adalah menegaskan
bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan
yang menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
diberikan sekurang-kurangnya tiga puluh persen disamping mata pelajaran umum.
Beberapa permasalahan
yang muncul setelah diberlakukannya SKB tiga menteri antara lain:
1. Berkurangnya
muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upayapendangkalan
pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu
mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi.
2. Tamatan Madrasah
serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan
umumnya juga rendah.
3. Diakui bahwa
model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara, memunculkan
dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan di Indonesia telah
menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini
tidak hanya berkenaan dengan sistem
pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang
sempit cenderung membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum.
Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir).[5]
Sebagai
warisan (legacy) Islam yang sangat penting, pendidikan Islam Indonesia
mengalami pertumbuhan signifikan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Dewasa ini pendidikan Islam (al-tarbiyah al-islamiyah) ¬–khususnya dalam
kewenangan Kementerian agama-- telah berkembang dalam jenis dan ragam yang
dapat dikategori dalam dua kelompok besar. Pertama, pendidikan Islam sebagai
lembaga atau program. Dalam praktiknya, pendidikan Islam kategori ini mencakup
setidaknya 6 (enam) jenis lembaga/program, yaitu:
1. Pondok
Pesantren dan Diniyah (Ula, Wustha, ’Ulya) dan Ma’had ’Aly (Pesantren Luhur)
dengan segala variasi dan kualitasnya. Lembaga/program ini telah memperoleh
kedudukan yang semakin kokoh melalui UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003 dan PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan;
2. Madrasah
(MI, MTs, MA) yang disebut sebagai ‘pendidikan umum berciri khas Islam’ yang
dalam praktiknya ‘sama tapi tak sebangun’ dengan sekolah;
3. Perguruan
tinggi Islam dengan keragamannya seperti Sekolah Tinggi, Institut (negeri dan
swasta) dan Universitas (UIN) yang memperoleh kedudukan khusus dalam UU no 12
tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
4. Pendidikan
usia dini/TK/RA/BA yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan
yayasan dan organisasi Islam;
5. Pelajaran
agama Islam (PAI) di Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi sebagai suatu mata
pelajaran, mata kuliah, dan/atau sebagai program studi;
6. Pendidikan
Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, forum-forum kajian
keislaman, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya yang digalakkan
masyarakat, atau pendidikan (Islam) melalui jalur pendidikan non formal dan
informal.
Saat ini semenjak diberlakukannya Undang-undang sisdiknas no
20 tahun 2003 secara teori sudah tidak ada lagi perbedaan antara madrasah dan
sekolah, namun dualisme pendidikan antara kemenag dan depdiknas menjadi
permasalahan yang sampai sekarang tidak dapat terselesaikan hal ini dapat
dimaklumi karena sekolah dan madrasah di
Indonesia memiliki latar belakang yang panjang dan dua lisme ini bisa
saja disebut menjadi ciri khas dari pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan data statistik madrasah pada tahun 2007/2008 Pendataan
RA/BA/TA dan Madrasah (MI, MTs dan MA) Tahun Pelajaran 2007/2008 encakup 33 propinsi. Jumlah lembaga yang berhasil didata sebanyak 18.759
RA/BA/TA, 21.188 Madrasah Ibtidaiyah
(MI), 12.883 Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan 5.398 Madrasah Aliyah (MA). satus lembaga pada Madrasah Ibtidaiyah
sebanyak 92,6% atau 19.621 lembaga berstatus
swasta dan sebanyak 7,4% atau
1.567 lembaga berstatus Negeri. Madrasah Tsanawiyah Negeri sebanyak 9,8% atau
1.259 lembaga, kemudian Madrasah Tsanawiyah Swasta sebanyak 90,2% atau 1.624 lembaga. Madrasah Aliyah berstatus Negeri sebanyak 11,9% atau 644 lembaga, sementara
Madrasah Aliyah berstatus swasta sebanyak 88,1% atau 4.754 lembaga. Lihat grafik
berikut. [6]

Dari data di atas kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa sebagian madrasah
adalah swasta, artinya sebagian besar madrasah dikelola oleh masyarakat dengan berbagai
model dan lembaga yang melatarbelakanginya, orang tua yang menyekolahkan
anaknya di madrasah swasta berdasarkan data statistic madrasah berada di bawah Rp 1.000.000 per bulan, Tidak
Tetap - 42,18%, < 1.000.000 - 43,75%, 1.000.000 – 2.000.000 - 10,47%, >
2.000.000 - 3,60% [7] keadaan ini sungguh berbanding terbalik dengan
potensi kekayaan alam yang dimiliki negara kita.
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam terus berpacu dalam menciptakan sebuah lembaga
pendidikan yang menyesuaikan dengan jamannya dalam bingkai nusantara madrasah
hendaknya menjadi penggerak dalam mewacanakan dan melakukan kemajuan-kemajuan
dalam bidang kemajemukan dengan menunjukkan islam yang baik dan toleran
Madrasah dewasa ini dihadapkan pada Tantangan
global dan merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar pendidikan merupakan salah satu sarana untuk
mempersiapkan manusia Indonesia agar siap mengahadapi tantangan tersebut salah
satu cirinya adalah mampu dan siap hidup dalam lingkungan yang majemuk dan
multikultural yang merupakan akibat dari
kemajuan tekhnologi yang tidak bisa dihindari kemajuan tekhnologi membuat dunia
semakin kecil sehingga pada saat ini dunia menjadi sebuah kampung yang kecil
Merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak
bahwa negara Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan
lain-lain sehingga negara-negara Indonesia secara sederhana dapat disebut
sebagai masyarakat “multikultural”. Indonesia adalah salah satu negara
multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat
dari sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini,
jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sekitar. 13000 pulau dengan 34 provinsi dan 300
etnis kondisi Indonesia yang
seperti ini menegaskan bahwa NKRI adalah negara yang multkultural. Jumlah pulau
di Indonesia sampai saat ini sebenarnya belum secara pasti diketahui jumlahnya
karena masih memiliki perbedaan pendapat tentangnya, Lembaga yang pernah menetapkan jumlah pulau
yang dimiliki oleh Indonesia, diantaranya adalah: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) pada tahun 1972, mempublikasikan bahwa hanya 6.127 pulau yang
telah mempunyai nama. Publikasi ini tanpa menyebutkan jumlah pulau secara
keseluruhan; Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta) pada tahun
1987menyatakan, jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 dan dari jumlah itu
hanya 5.707 pulau yang telah memiliki nama; Badan Koordinasi Survei dan
Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) pada tahun 1992 menerbitkan “Gezetteer
nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia”. Bakorsurtanal mencatat hanya 6.489
pulau yang telah memiliki nama; kemudian Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (Lapan) pada tahun 2002 berdasarkan citra satelit mengklaim jumlah
pulau di Indonesia adalah 18.306 buah; Kementrian Riset dan Teknologi, pada
tahun 2003, berdasarkan citra satelit menyebutkan Indonesia memiliki 18.110
pulau. Ketidaksamaan penetapan jumlah pulau tersebut ditindak lanjuti oleh
Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia pada tahun 2004,merilis bahwa jumlah
pulau di Indonesia adalah 17.504 pulau, dan dari jumlah tersebut dipastikan
sebanyak 7.870 pulau sudah memiliki nama, sedangkan sisanya sebanyak 9.634
pulau belum diberi nama. Kemudian pada
bulan Agustus tahun 2009, jumlah pulau yang sudah ditetapkan oleh Depdagri
mendapat koreksi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ditegaskan bahwa
jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia sebanyak 17.480 buah, dan dari jumlah
tersebut baru 4.891 pulau yang telah diberi nama dan telah didaftarkan ke badan
dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Ternyata jumlah yang sudah dirilis oleh
KKP itupun masih belum valid, dan pada bulan Agustus tahun 2010, Kementrian
Kelautan dan Perikanan melakukan revisi tentang jumlah pulau yang dimiliki
Indonesia dari 17.480 pulau menjadi 13.000 pulau. Dengan adanya revisi tersebut
tentunya semakin membiaskan pendapat publik tentang berapa jumlah pulau yang
sebenarnya dimiliki Indonesia ?, mengapa datanya tidak pernah valid dan mengapa
datanya selalu berubah-ubah? Kondisi semacam ini seharusnya tidak boleh terjadi
pada tingkat Kementerian, karena memberikan informasi yang tidak akurat dan
tentunya akan membingungkan masyarakat umum. Dampak yang lebih luas diantaranya
akan mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia, karena siswa akan memiliki
sikap yang tidak konsisten manakala menyebutkan jumlah pulau yang dimiliki oleh
Indonesia. Polemik tentang perbedaan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia
dapat terjadi karena dari beberapa lembaga yang menyatakan pendapat menggunakan
acuan dan metode survei yang berbeda pula. Selain hal tersebut ada kemungkinan
terjadi duplikasi nama pulau dan atau ada satu pulau dengan dua nama yang
berbeda pula terlepas dari itu semua yang jelas
Indonesia adalah Negara kepulauan dan itu sudah menjadi kesepakatan.[8]
Indonesia yang multikultural bagi
madrasah hendaklah disikapi secara wajar dan pentingnya bagi madrasah
menumbuhkan pendidikan Islam yang multicultural, Pentingnya pendidikan
multikultural bagi madrasah dapat
dilihat dari pertama, adanya keanekaragaman suku bangsa yang ada di
Indonesia, kedua falsafah pancasila dan pembukaan UUD 1945 yang
mencerminkan adanya perbedaan budaya yang harus dihargai untuk keutuhan bangsa
dan negara Indonesia, ketiaga UU
RI No 20/2003 tentang pendidikan nasional yang menghargai perbedaan dan
keragaman peserta didik.[9]
Islam sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin memberikan pemahaman yang
utuh berkaitan dengan pendidikan keragaman dalam pendidikan multikultural
Perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar kehidupan manusia telah tertulis dalam
al-Qur’anul Karim sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Q.S
al-hujurat/49:13
$pkš‰r'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu‘$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& y‰YÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Kurangnya pemahaman dan
penerapan secara praktis firman Allah SWT. dalam QS. al-Hujurat /49: 13
tersebut menyebabkan orang Islam terjebak dalam hal-hal yang merugikan. Hal
tersebut menjadi penyebab terjadinya konflik yang tidak berkesudahan, Maka
konsep pendidikan multikultural bagi madrasah perlu secara terus-menerus untuk
disampaikan kepada masyarakat melalui berbagai forum atau media. Hal tersebut
bertujuan agar tumbuh dalam diri setiap orang kesadaran hidup dalam sebuah
bangsa yang mempunyai keragaman budaya yang pada akhirnya bisa saling
menghargai dan menghormati setiap perbedaan inilah salah satu yang harus
dibangun oleh Pendidikan Islam dalam bingkai Nusantara.
[1]
Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia , Jogjakarta: Diva
Press,20`14, h. 207
[2] Sebelumnya kata Indonesia belum
dikenal penjajah mengenalnya denga nama
Nederlandsch_ Indie, pemerintah jepang menggunakan Istilah To-Indo (hindia
Timur) Nama Indonesia baru- benar-benar digunakan setelah Proklamasi 17 Agustus
1945 yang bernama Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) orang Indonesia yang tercatat pertamakali menggunakan
kata Indonesia adalah Suwardi
Suryaningrat (Kihajar Dewantara) tahun 1913 karena ia mendirikan sebuah biro
press denagn nama indonesische
persbureau, Adi Sudirman, Ibid, 12-13
[3] Samsul Nizar, Sejarah
Pemdidikan Islam,….. ibid 362
[4] Samsul Nizar, Sejarah
Pemdidikan Islam… ibid 363
[5] Muhammad Isnaini, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah
Palembang) Madrasah Sebagai The Centre Of Excellence. Makalah yang tidak
diterbitkan, tt.
[6] Deskriptif
Statistik RA/BA/TA dan Madrasah tahun 2008
[7] Departemen Agama R.I: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Ringkasan
Statistik Pendidikan Islam 2006-2007
[8]
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia ...lebih lanjut
dijelaskan. Berbagai Lembaga pernah
mempublikasikan tentang jumlah pulau yang dimiliki Indonesia, tetapi sampai
dengan saat ini belum ada pernyataan resmi sebagai dokumen negara dan diakui
secara internasional tentang penetapan jumlah pulau yang dimiliki oleh
Indonesia. (Lih..sekertariat jendral ketahanan nasional. http://www.dkn.go.id/site/index.php/ruang-opini/126-jumlah-pulau-di-indonesia.
di lihat tanggal 22 Februari 2015 jam 10:36)
[9] Depag RI
(Tiem),Panduan Model Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikulutral
Sekolah Dasar, Direktorat pendidikan Islam pada Sekolah Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian agama RI,
2010, h.17. lebih lanjut dalam
penyusunan kurikulum tinghkat satuan pendidikan ada prinsip yang harus
dipenuhi diantaranya Beragam dan terpadu Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik
peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak
diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status
sosial ekonomi, dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib
kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun
dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
KONSEP MADRASAH BERMUTU
A.
Pendahuluan
Madrasah
merupakan lembaga/organisasi yang kompleks dan unik. Kompleks, karena dalam
operasionalnya madrasah dibangun oleh berbagai unsur yang satu sama lain saling
berhubungan dan saling menentukan. Unik, karena madrasah merupakan organisasi
yang khas, menyelenggarakan proses perubahan perilaku dan proses pembudayaan
manusia, yang tidak dimiliki oleh lembaga manapun.
Madrasah
sebagai sebuah lembaga pendidikan islam memiliki kontribusi yang besar terhadap
kemajuan dan kebudayaan bangsa peranannya tidak bisa diabaikan begitu saja
sudah banyak tokoh dan pemimpin yang lahir dari madrasah karenanya keberadaan
madrasah harus terus ditumbuhkembangkan karena Undang-undan
g system pendidikan nasional di Indonesia tidak lagi membedakan antara madrasah dan sekolah, antara madrasah dan sekolah sudah berada sejajar
g system pendidikan nasional di Indonesia tidak lagi membedakan antara madrasah dan sekolah, antara madrasah dan sekolah sudah berada sejajar
Sebagian besar
madrasah adalah swasta dan sebagian besar berada pada masyarakat yang memiliki
ekonomi yang kurang baik hal ini harus
disikapi secara bijak yang artinya proses perubahan dan pembangunan ekonomi
masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kontribusi terhadap pemberdayaan
madrasah. Madrasah harus diatur sedemikian rupa
dengan tujuan agar tercipta sebuah madrasah yang unggul walaupun untuk
melangkah kepada madarasah yang bermutu perlu tahapan dan proses yang tidak
mudah namun keinginan untuk mewujudkan madrasah yang bermutu patut untuk
dihargai.
A. Madrasah yang Efekti
Hakekat
pendidikan pada dasarnya adalah untuk menjawab hakekat manusia dalam pendangan
Islam hakekat manusia diciptakan adalah untuk beribadah dan menjadi khalifah
yang bertanggung jawab dimuka bumi ini. Pendidikan di madarasah pada dasarnya
di tujukan pula untuk terwujudnya hamba
Allah yang memiliki keimanan dan ketaqwaan
atau ketundukan kepada Sang Pencipta hal ini perlu dilakukan melalui
madrasah yang bermutu .
Madrasah yang bermutu
adalah suatu lembaga pendidikan Islam
yang mempunyai kurikulum, strategi, belajar mengajar yang bermutu dan ada interaksi dengan pihak yang
berkepentingan (siswa, guru, orang tua, lingkungan dan pejabat yang terkait)
dengan tujuan menghasilkan keluaran yang
dapat diandalkan.[1] Oleh
karena itu, madrasah dapat dikatakan bermutu jika lembaga pendidikan agama Islam tersebut
mempunyai tujuan, misi dan sasaran, mulai dari rekrutmen (input) baik
guru, tenaga pendidik maupun siswa,
memperhatikan dan melakukan perbaikan nyata pada kegiatan belajar dan
mengajar yang berorientasi pada perbaikan yang berkelanjutan dengan
memperhatika kondisi dan keadaan (procesing) serta melakukan tindak
lanjut pada keluaran dengan tujuan mendapatkan lulusan yang bermutu dikemudian
hari secara berkelanjutan.
Untuk mencapai madrasah yang bermutu banyak hal yang harus dirombak
dan dilakukan diantaranya adalah
1.
sosialisasi
dan pengenalan terhadap masyarakat
melalui perebutan diruang publik (media) bahwa madrasah merupakan institusi yang
sejajar dengan sekolah sebagaimana yang telah diamanahkan oleh UU sisdiknas No
20 tahun 2003 biasanya penyebutan sekolah ditambahkan dengan madrasah
(sekolah/madrasah)
2.
Sebagian besar madrasah adalah milik swasta
atau masyarakat dan berada pada lapisan masyarakat yang memiliki tingkat
perekonomian yang belum mapan, -walaupun banyak madrasah yang sudah berkualitas
dan biasanya berada di wilayah perkotaan- perbaikan madrasah diupayakan juga
menyentuh pengguna dari proses perbaikan tersebut yakni masyarakat.
3.
Perbaikan
yang berkelanjutan di madrasah seharusnya tidak hanya menyentuk kepala madrasah
atau guru maupun staf, tetapi sudah mulai dipikirkan untuk melakukan kebijakan
melalui pendidikan pada level pemangku kepentingan pada madrasah yakni yayasan.
Karena yayasan memiliki kepentingan yang beragam namaun perbaikan dan pelayanan
harus dilakukan secara berkelanjutan.
4.
Pendidikan
keagamaan (keislaman) yang dilakukan di madrasah sudah saatnya diperbaiki dengan metode yang terbaik jangan
hanya berada pada pemahaman verbal tetapi sudah saatnya diaplikasikan baik oleh pendidik, tenaga pendidik maupun
orang tua siswa
5.
Madrasah
diharuskan untuk memiliki visi yang menjadi aksi, artinya bukan hannya berada
pada ucapan saja tetapi dirumuskan, dipahmi, diamalkan secara aplikatif dalam
kehidupan nyata oleh warga madrasah.
6.
Madrasah
memeiliki potensi sebagai institusi yang mampu menyegarkan kembali
ajaran-ajaran akhlak untuk mencapai kesadaran pribadi sebagai seorang muslim
yang bertanggung jawab terhadap diri masyarakat dan umat dibandingkan dengan sekkolah
madarasah lebih memiliki peluang dalam hal ini.[2]
B. Konsep Pengelolaan Madrasah yang Bermutu
1. Manajemen Berbasis Sekolah
Madrasah
sendiri kemunculannya merupakan pembaharuan sistem pendidikan Islam di
Indonesia yang telah ada. Secara umum, madrasah sendiri didirikan oleh proses
swadaya masyarakat muslim (swasta). Madrasah mempunyai landasan hukum yang
jelas dalam pendidikan nasional. Mensejajarkan posisi madrasah dengan sekolah
umum lainnya (SD, SMP dan SMA).
Isu mengenai
Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) sebenarnya
merupakan tema sentral dalam reformasi pendidikan di berbagai negara. Manajemen
Berbasis Sekolah diartikan sebagai pengalihan kekuasaan, wewenang dan tanggung
jawab pengelolaan dari birokrasi sentral kepada pengelola terdepan pendidikan,
yaitu sekolah dan komunitasnya.[3]
Konsep dasar Manajemen
Berbasis Madrasah (MBM) mengembalikan pengelolaan sekolah kepada pemiliknya dan
komponen yang terkait di dalamnya, proses desentralisasi ini dipandang memiliki
keefektifan yang tinggi dan terdapat
tujuan nyata yang ingin dicapai dalam pembaharuan ini. Dengan diterapkannya
konsep MBM diharapkan madrasah lebih
mampu meningkatkan keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan
teknologi.[4]
Peningkatan
efisiensi diperoleh antara lain melalui keleluasaan pemanfaatan sumber daya
partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi, sementara peningkatan mutu
dapat diperoleh dengan :
a. Melalui orang tua
b. Fleksibilitas pengelolaan madrasah dan kelas
c. Peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah.
Menumbuhkan
nilai mutu pada manajemen madrasah merupakan kunci sentral bagi keberlangsungan
madrasa karena ada keterkaitan antara madrasah dengan dunia nyata yang dihadapi
oleh warga madrasah, Dengan begitu madrasah mampu bersaing di pasaran global,
mampu menjanjikan dan menumbuhkan pandangan positif dalam masyarakat.
2. Kerangka Membangun Madrasah yang Bermutu
Kerangka untuk membangun madrasah terdiri dari enam komponen, yaitu
:[5]
a. Pengertian umum dan dasar konsepsi yang sama
Sudah
semestinya diberlakukan dalam setiap organisasi adanya kesamaan pandangan
filosofis yang menuntun perjalanannya. Begitu halnya dengan madrasah. Madrasah
yang bermutu harus didukung dengan adanya konsep filosofis yang dialektis,
diketahui dengan baik dan bersifat humanis, ideologis, nilai-nilai (Islam,
social, dan toleransi) dan misi (akademis dan keluhuran moral).
b. Kurikulum yang bagus dan pengelolaan atas dasar aspirasi
masyarakat
Di sini jelas,
bahwa madrasah yang baik haruslah mempunyai tujuan dan sasaran yang jelas dalam
pendidikannya. Kejelasan ini dicerminkan dalam kurikulum yang digunakan, serta
tidak seharusnya mengesampingkan aspirasi masyarakat.
c. Buku akademis dan keluaran moral
Madrasah yang bermutu
menetapkan buku yang tinggi untuk akademis,
demikian juga akhlak Islam, mengajarkan
kurikulum pendidikan agama Islam dan berdampingan dengan kurikulum nasional,
mampu menunjukkan nilai-nilai keislamannya dan nasionalisme dalam ritual dan
kegiatan luar.
d. Fasilitas belajar yang cukup
Hal ini
kaitannya dengan eksplorasi kemampuan siswa dengan optimal. Sehingga peserta
didik mampu mengaplikasikan secara riil berbagai konsep yang dirasa masih
abstrak. Dengan begitu konstruksi pengetahuan peserta didik akan lebih menuai
hasil.
e. Manifestasi perilaku (atas dasar kesepakatan)
Maksudnya,
terdapat perilaku khusus yang diciptakan dan disepakati bersama, baik berupa
peraturan-peraturan dan sangsi, apresiasi, dan sebagainya yang diwujudkan dalam
lingkungan budaya sekolah
f. Keluaran yang diharapkan
Tujuan akhir
pengelolaan madrasah adalah mampu menghasilakn keluaran (output) yang
kompetensinya tidak diragukan lagi. Tujuan ini tidaklah mungkin diperoleh
dengan tanpa memperhatikan berbagai aspek fundamental. Keluaran yang baik,
tergantung bagaimana madrasah berusaha, sekeras apakah itu dan seserius apakah
madrasah memandang dan mengupayakannya.
3. Prinsip Umum Membangun Madrasah
Madrasah
merupakan lembaga pendidikan sekaligus juga perjuangan bagi umat Islam
keberadaan madrash memiliki peran strategis dalam membangun kecerdasan dan
perjungan umat dan bangsa ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan
dalam membangun sebuah madrasah :
a. Peningkatan pemahaman dan
penerimaan filosofis, nilai-nilai dan misi madrasah
Landasan filosofis sudah seharusnya tersusun dan terencana dengan
jelas dan memadai, dapat dimengerti dan dipahami secara optimal oleh semua
pihak yang berkepentingan.
b. Perhatian para pencapaian sasaran dan tujuan
Madrasah yang bermutu menentukan prioritas dan membatasi apa yang
dapat harus dicapai. Kejelasan dari filosofis pedoman dan misi dan memusatkan
pada keikutsertaan dan perhatian dari pihak yang berkepentingan akan menentukan
bahwa sekolah harus mempersempit kisaran tujuan yang paling penting untuk
dicapai.
c. Kepemimpinan yang bermutu
Kepemimpinan yang bermutu salah satu cirinya adalah mengambil inisiatif
dan tindakan yang tepat untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada. Ada
beberapa faktor yang dianjurkan dalam pengelolaan sekolah, antara lain :
1) Kepemimpinan kepala sekolah yang lebih fleksibel
2) Nilai, visi dan misi madrasah harus dikomunikasikan
3) Perhatian pada kelembagaan, visi, misi dan nilai yang diusung
4) Kepala
sekolah, staf dan orang tua siswa aktif membangun budaya sekolah yang
diinginkan
berdasarkan visi dan misi.[6]
d. Strategi rencana dan pelaksanaan pembangunan multi dimensi
Hal ini menjadi penting lantaran perkembangan suatu organisasi, tak
terkecuali madrasah, tidaklah selalu di atas angin. Tantangan dan kendala
tentunya tidaklah bisa diingkari. Dengan demikian, perencanaan yang matang
dengan strategi-strategi jitu mungkin akan lebih mengoptimalkan eksistensi
suatu madrasah itu sendiri.
e. Pengelolaan sekolah dan partisipasi masyarakat
f.
Tanggung jawab dengan jelas dilimpahkan kepada orang yang terlibat atau
dipengaruhi oleh kegiatan madrasah
Pembagian job
description yang jelas dan tepat sasaran dirasa sebagai langkah awal yang
baik dalam manajemen pelaksanaan semua bentuk organisasi. Dengan begitu
diharapkan visi, misi dan tujuan dapat tercapai secara optimal.
g. Partisipasi dalam pengambilan keputusan
Dalam madrasah
yang mempunyai skala kecil pengambilan keputusan dapat dilakukan berdasarkan
kesepakatan. Sedangkan pada madrasah yang besar, pihak yang berkepentingan
memiliki wakilnya (BP3/ komite/majlis sekolah dan yang sejenisnya) partisipasi
dalam mengambil keputusan diupayakan dengan sungguh-sungguh dengan melibatkan
unsur-unsur yang ada melalui partisipasi yang aktif/
h. Penetapan standar tinggi
i. Siswa belajar aktif dan menyenagkan
j. Lingkungan motivasi belajar mengajar
k. memiliki guru dan kepala sekolah yang bermutu
l.
Sistem yang jujur dalam evaluasi dan pertanggungjawaban dan berorientasi pada
prose bukan hanya hasil. Madrasah akan lebih berkembang jika mampu melaksanakan
pola sistem yang jujur dalam proses evaluasi
m. Optimalisasi sumber daya dan penggunaannya
n. Organisasi
fungsional, Madrasah yang bermutu mempunyai susunan dan hubungan kerja yang
lebih tepat sebagai organisasi fungsional dari birokrasi. Di sana dapat
hubungan bebas antara guru, kepala madrasah baik vertikal maupun horizontal dan
dengan pimpinan masyarakat.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep madrasah yang bermutu adalah yang dikelola sesuai dengan kurikulum,
strategi, belajar mengajar dan adanya hubungan timbal balik (guru, siswa, orang
tua, lingkungan dan pejabat yang terkait), sehingga mampu menyelaraskan tujuan
yang tercantum dalam misi dan visi madrasah, serta menghasilkan keluaran yang
dapat diandalkan.
Untuk
mewujudkan madrash bermutu ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu
mengenai kerangka membangun madrasah dan prinsip-prinsip membangun madrasah.
DAFTAR PUSTAKA
Farid Malik, Gulan, Pedoman
Manajemen Madrasah, Yogyakarta: BEP, 2000.
Komaidi, Didik “Manajemen Berbasis Sekolah Era Otonomi Daerah”,
dalam Majalah Rindang Nomor 2, tahun XXVI, Juli 2001.
Mas’ud,, Abdurrahman Mas’ud, M.A, (ed.), Dinamika Pesantren dan
Madrasah, Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 2002.
Masruroh,
Ninik.,Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam ala Azyumardi Azra,
Jakarta: Arruzz Media, 2011.
Mulyasa, E Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004.
Nurhatati, dkk., Kepemimpinan Madrasah Mandiri, Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2001.
Sagala, Syaiful. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung:
CV. Alfabeta, 2000.
Syukur,Fatah, Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah,
Semarang: al-Qalam Press, 2006.
[1] Fatah Syukur,
NC., M.Ag., Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah, Semarang: al-Qalam Press, 2006, h.. 146.
[2] Ninik
Masruroh, M.Pd.I., Umiarso, M.Pd.I, Modernisasi Pendidikan Islam ala Azyumardi
Azra, Jakarta: Arruzz Media, 2011, h. 164
[3]
Didik Komaidi, “Manajemen Berbasis Sekolah Era Otonomi Daerah”, dalam
Majalah Rindang Nomor 2, tahun XXVI, Juli 2001.
[4] Dr.
E. Mulyasa, M.Pd., op.cit., h.. 25.
[5] Dr.
H. Abdurrahman Mas’ud, M.A, (ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah,
Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 2002, h..146-148.
[6] Gulan Farid Malik, Pedoman Manajemen Madrasah, Yogyakarta:
BEP, 2000, hlm. 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar